Syah iskandar
140506884
Sjs
SUMPAH (ALYAMIN)
Sumpah menurut pengertian syara’ yaitu menahkikkan atau menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah S WT, seperti; walLahi, bilLahi, talLahi. Secara etimologis arti sumpah yaitu:
- Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Allah SWT untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan.
- Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu menguatkan kebenarannya atau berani menerima sesuatu bila yang dinyatakan tidak benar.
- Janji atau ikrar yang teguhakan menunaikan sesuatu.
Dalam bahasa Arab sumpah disebut dengan al-aimanu, al-halfu, al-qasamu. Al-aimanu jama’ dari kata al-yamiinu (tangan kanan) karena orang Arab di zaman Jahiliyah apabila bersumpah satu sama lain saling berpegangan tangan kanan. Kata al-yamiinu secara etimologis dikaitakan dengan tangan kanan yang bisa berarti al-quwwah (kekuatan), dan al-qasam (sumpah). Dengan demikian pengertian al-yuamiinu merupakan perpaduan dari tiga makna tersebut yang selanjutnya digunakan untuk bersumpah. Dikaitkan dengan kekuatan (al-quwwah), karena orang yang ingin mengatakan atau menyatakan sesuatu dikukuhkan dengan sumpah sehingga pernyataannya lebih kuat sebagaimana tangan kanan lebih kuat dari tangan kiri. Lafal sumpah tersebut harus menggunakan huruf sumpah (al-qasam) yaitu: waw, ba dan ta. seperti; walLahi, bilLahi, talLahi.[i]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum bersumpah, Imam Malik berpendapat bahwa hukum asal sumpah adalah ‘jaiz‘(boleh). Hukumnya bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan untuk menekankan suatu masalah keagamaan atau untuk mendorong orang melakukan sesuatu yang diperintahkan agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang diperintahkan agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang dilarang agama Jika sumpah hukumnya mubah, maka melanggarnya pun mubah, tetapi harus membayar kafarat (denda), kecuali jika pelanggaran sumpah itu lebih baik.
Imam Hambali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah ataupun mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, maka hukum bersumpahnya adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah untuk hal-hal yang diharamkan, maka hukum bersumpahnya juga sunnah dan seterusnya.
Imam Syafi’i berpendapat hukum asal sumpah adalah makruh. Tetapi bisa saja hukum bersumpah menjadi sunnah, wajib, haram, atau mubah. Tergantung pada keadaaanya.
Menurut Imam Hanafi asal hukum bersumpah adalah ‘jaiz‘, tetapi lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah. Jika seseorang bersumpah akan melakukan maksiat, wajib ia melanggar sumpahnya. Jika seseorang bersumpah akan meninggalkan maksiat maka ia wajib melakukan sesuai dengan sumpahnya.
Menurut Mazhab Hanafi sumpah itu ada tiga macam, yaitu :
1. Al-Yaminul Laghwi dan Status Hukumnya
Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA’KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.
Allah berfirman yang artinya:
“Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
2. Al-Yaminul Ghamus dan Status Hukumnya
Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam neraka. Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah.[ii]
karena Allah swt menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa ditebus dengan kafarah. Sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).
3. Al-Yaminul Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu. Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya, maka ia harus menebus dengan membayar kafarah.[iii]
Ini didasarkan pada firman Allah swt:
“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89)
Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa kafarat atas pelanggaran sumpah ada tiga macam yaitu:
- Memerdekakan budak.
- Memberi makan sepuluh orang miskin yang setiap orang mendapat satu mud atau 3/4 liter.
- memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu lembar pakaian.[iv]
Syarat-syarat sumpah menurut kesepakatan ulama dapat di bagi kepada enam macam
1. orang yang bersumpah itu hendaklah seorang yang mukallaf( baligh dan berakal) dan tidak di pakasa (pilihan sendiri). Oleh karena itu tidak sah sumpah bagi anak-anak, orang gila, orang yang sedang tidur dan dipaksa.
2. hendaklah orang yang di dakwa menafikan hak orang yang mendakwa. Jika ia mengiktirafnya maka tidak perlu bersumpah.
3. sumpah iyu hendaklah di minta dan di arahkan oleh Qadhi.
4. hendaklah sumpah di buat bagi diri sendiri. Sumpah tidak boleh di buat bagi orang lain, karena ia sangat berkaitan dengan taggungan antara orang yang bersumpah dengan agamanya.
5. sumpah itu janganlah berkaitan dengan hak-hak yang kgusus untuk Allah seperti masalah Hudud.
6. sumpah itu hendaklah mengenai hak-hak yang harus di ikrarkan.[v]
Ulama berbeda pendapat tentang syarat-syarat berikut:
1. tidak dapat membawa saksi ataupun saksi tidak ada. Mengikuti jumhur ulama, selain mazhab syafi’i. jika saksi hadir dalam majelis perbicaraan, maka tidak sah diminta sumpah daripada orang yang di dakwa (yang di tuntut). Demikian menurut Abu Hanifah, tidak sah meminta sumpah jika Qadi berada di negeri yang di diami oleh Qadi. Jadi, sumpah adalah hak orang yang mendakwa dan menjadi wajib keatas orang yang didakwa.
2. Ada hubungan pencampuran atau menambah antara dua pihak yang bertikai menurut pendapat imam Maliki. Tujuannya adalah orang yang di bawah tidak bermegah-megah dengan orang yang berkedudukan tinggi denagn mendakwa mereka di mahkamah dan meminta sumpah dari mereka, ataupun mereka di hukum karena keengganan bersumpah.[vi]
البينة على المد عي واليمين على المد عى عليه
Artinya:
“pembuktian diwajibkan atas orang yang menuduh dan sumpah atas orang yang di tuduh”.[vii]
Jenis-jenis sumpah mengikuti orang yang bersumpah
1. Sumpah saksi
Yaitu sumpah yang di buat oleh saksi sebelum di beri kesaksian yang di buat untuk emastikan kebenarannya.
2. Sumpah orang yang didakwa
Yaitu sumpah yang di buat oleh orang yang di dakwa atas permintaan Qadi karena di tuntut oleh orang yang mendakwa untuk memastikan jawaban setiap pertanyaan.
3. Sumpah orang yang medakwa
Yaitu sumpah yang dibuat oleh orang yang mendakwa untuk menolah tuduhan darinya, atau untuk mensabitkan haknya, atau untuk menolak sumpah atas dirinya.[viii]
[i] Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, (terj. Andi Suharman), (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 154.
[ii] Syeik Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin, Majelis Dalam Ramadhan, (terj. Adni Kurniawan), (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2007), hlm. 384.
[iii] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, (terj. Ma’ruf Abdul Jalil), (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 – 745.
[iv] Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 898.
[v] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan Islam, (terj. Ahmad Syahbari Salamaon), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), hlm. 660.
[vi] Ibid, hlm. 661.
[vii] Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi Alwajis, Panduan Fiqh Lengkap, (terj. Team Tashfiyah LIPIA), (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007), hlm. 789.
[viii] Ibid, hlm. 663.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar