Selasa, 16 Agustus 2011

doa dalam peusijuek

TUNTUNAN PEUSIJUEK
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمنِ الرَّحِيْمِ

Mula-mula dibaca
اللَّحُمَّ اَنْزِلِ الرَّحْمَةَ عَلَيْنَا

Kemudian diambil beras dan padi lalu dibaca
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمنِ الرَّحِيْمِ

Dan diniat dalam hati apa yang di inginkan lalu baca صَلَوَاةْ ini:
اَللّهُمّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدِ وَالِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلِّمِ
Kemudian ambil nasi ketan lalu baca tasbih
سُبْحَأنَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدادَ خَلْقِهِ وَرِضَاءَ نَفْسِهِ وَ زِيْنَةَ عَرْشِهِ
Kemudian ambil tepung tawar lalu baca
اَللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْعًا عَدَقًا مُجَلِّلاً سَحًّا عَامًّا طَبَقًا دَئِمًا اِلى يَوْمِ الدِّيْنَ
Untuk pesunting pengantin maka baca do’a
اَلَّلهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْـتَ بَيْنَ اَدَامَ وَحَوَاءَ، وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ سُلَيْمَانَ وَبَلْكِسَا، وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ اِبْرَاهِيْمَ وَسَارَا، وَاَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا اَلَّفْتَ بَيْنَ يُوْسُفَ وَزُلَيْخَا، وَاَلِّفْ بَيْن نَبِيِّنَا مُحَمّدٍ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَا ئِشَةَ اْلكُبْرَاى امِيْنَ يَامُجِيْبَ السَّائِلِيْض.
Di tambah lagi
سَلاَ مٌ قَوْلاً مِنْ رَبِّ رَحِيْمِ سَلاَمٌ عَلَى نُوْحٍ فِى الْعَالَمِيْنَ رَبَّنَا اتِنَا فِى الدّنْيَاُ حَسَنَةً وَ فِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّار



{ Suber dari kitab  رسا له فسجوء}

Jumat, 24 Juni 2011

makalah sumpah (al-yamin)

Syah iskandar
140506884
Sjs

SUMPAH (ALYAMIN)
Sumpah menurut pengertian syara’ yaitu menahkikkan atau menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah S WT, seperti; walLahi, bilLahi, talLahi. Secara etimologis arti sumpah yaitu:
  1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Allah SWT untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan.
  2. Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu menguatkan kebenarannya atau berani menerima sesuatu bila yang dinyatakan tidak benar.
  3. Janji atau ikrar yang teguhakan menunaikan sesuatu.
Dalam bahasa Arab sumpah disebut dengan al-aimanu, al-halfu, al-qasamu. Al-aimanu jama’ dari kata al-yamiinu (tangan kanan) karena orang Arab di zaman Jahiliyah apabila bersumpah satu sama lain saling berpegangan tangan kanan. Kata al-yamiinu secara etimologis dikaitakan dengan tangan kanan yang bisa berarti al-quwwah (kekuatan), dan al-qasam (sumpah). Dengan demikian pengertian al-yuamiinu merupakan perpaduan dari tiga makna tersebut yang selanjutnya digunakan untuk bersumpah. Dikaitkan dengan kekuatan (al-quwwah), karena orang yang ingin mengatakan atau menyatakan sesuatu dikukuhkan dengan sumpah sehingga pernyataannya lebih kuat sebagaimana tangan kanan lebih kuat dari tangan kiri. Lafal sumpah tersebut harus menggunakan huruf sumpah (al-qasam) yaitu: waw, ba dan ta. seperti; walLahi, bilLahi, talLahi.[i]
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum bersumpah, Imam Malik berpendapat bahwa hukum asal sumpah adalah ‘jaiz‘(boleh). Hukumnya bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan untuk menekankan suatu masalah keagamaan atau untuk mendorong orang melakukan sesuatu yang diperintahkan agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang diperintahkan agama, atau melarang orang berbuat sesuatu yang dilarang agama Jika sumpah hukumnya mubah, maka melanggarnya pun mubah, tetapi harus membayar kafarat (denda), kecuali jika pelanggaran sumpah itu lebih baik.
Imam Hambali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah ataupun mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, maka hukum bersumpahnya adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah untuk hal-hal yang diharamkan, maka hukum bersumpahnya juga sunnah dan seterusnya.
Imam Syafi’i berpendapat hukum asal sumpah adalah makruh. Tetapi bisa saja hukum bersumpah menjadi sunnah, wajib, haram, atau mubah. Tergantung pada keadaaanya.
Menurut Imam Hanafi asal hukum bersumpah adalah ‘jaiz‘, tetapi lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah. Jika seseorang bersumpah akan melakukan maksiat, wajib ia melanggar sumpahnya. Jika seseorang bersumpah akan meninggalkan maksiat maka ia wajib melakukan sesuai dengan sumpahnya.
Menurut Mazhab Hanafi sumpah itu ada tiga macam, yaitu :
1.     Al-Yaminul Laghwi dan Status Hukumnya
Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA’KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.
Allah berfirman yang artinya:
“Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
2.    Al-Yaminul Ghamus dan Status Hukumnya
Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam neraka. Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah.[ii]
karena Allah swt menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa ditebus dengan kafarah. Sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).
3.    Al-Yaminul Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu. Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya, maka ia harus menebus dengan membayar kafarah.[iii]
Ini didasarkan pada firman Allah swt:
“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89)
Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa kafarat atas pelanggaran sumpah ada tiga macam yaitu:
  1. Memerdekakan budak.
  2. Memberi makan sepuluh orang miskin yang setiap orang mendapat satu mud atau 3/4 liter.
  3. memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu lembar pakaian.[iv]
Syarat-syarat sumpah menurut kesepakatan ulama dapat di bagi kepada enam macam
1.    orang yang bersumpah itu hendaklah seorang yang mukallaf( baligh dan berakal) dan tidak di pakasa (pilihan sendiri). Oleh karena itu tidak sah sumpah bagi anak-anak, orang gila, orang yang sedang tidur dan dipaksa.
2.    hendaklah orang yang di dakwa menafikan hak orang yang mendakwa. Jika ia mengiktirafnya maka tidak perlu bersumpah.
3.    sumpah iyu hendaklah di minta dan di arahkan oleh Qadhi.
4.    hendaklah sumpah di buat bagi diri sendiri. Sumpah tidak boleh di buat bagi orang lain, karena ia sangat berkaitan dengan taggungan antara orang yang bersumpah dengan agamanya.
5.    sumpah itu janganlah berkaitan dengan hak-hak yang kgusus untuk Allah seperti masalah Hudud.
6.    sumpah itu hendaklah mengenai hak-hak yang harus di ikrarkan.[v]

Ulama berbeda pendapat tentang syarat-syarat berikut:
1.    tidak dapat membawa saksi ataupun saksi tidak ada. Mengikuti jumhur ulama, selain mazhab syafi’i. jika saksi hadir dalam majelis perbicaraan, maka tidak sah diminta sumpah daripada orang yang di dakwa (yang di tuntut). Demikian menurut Abu Hanifah,  tidak sah meminta sumpah jika Qadi berada di negeri yang di diami oleh Qadi. Jadi, sumpah adalah hak orang yang mendakwa dan menjadi wajib keatas orang yang didakwa.
2.    Ada hubungan pencampuran atau menambah antara dua pihak yang bertikai menurut pendapat imam Maliki. Tujuannya adalah orang yang di bawah tidak bermegah-megah dengan orang yang berkedudukan tinggi denagn mendakwa mereka di mahkamah dan meminta sumpah dari mereka, ataupun mereka di hukum karena keengganan bersumpah.[vi]

البينة على المد عي واليمين على المد عى عليه
Artinya:
“pembuktian diwajibkan atas orang yang menuduh dan sumpah atas orang yang di tuduh”.[vii]

Jenis-jenis sumpah mengikuti orang yang bersumpah
1.    Sumpah saksi
Yaitu sumpah yang di buat oleh saksi sebelum di beri kesaksian yang di buat untuk emastikan kebenarannya.
2.    Sumpah orang yang didakwa
Yaitu sumpah yang di buat oleh orang yang di dakwa atas permintaan Qadi karena di tuntut oleh orang yang mendakwa untuk memastikan jawaban setiap pertanyaan.
3.    Sumpah orang yang medakwa
Yaitu sumpah yang dibuat oleh orang yang mendakwa untuk menolah tuduhan darinya, atau untuk mensabitkan haknya, atau untuk menolak sumpah atas dirinya.[viii]




[i] Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, (terj. Andi Suharman), (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 154.

[ii] Syeik Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin, Majelis Dalam Ramadhan, (terj. Adni Kurniawan), (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2007), hlm. 384.

[iii] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, (terj. Ma’ruf Abdul Jalil), (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 – 745.

[iv] Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 898.

[v] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh dan Perundangan Islam, (terj. Ahmad Syahbari Salamaon), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001), hlm. 660.

[vi] Ibid, hlm. 661.

[vii] Abdul ‘Azhim bin Badawi Al-Khalafi Alwajis, Panduan Fiqh Lengkap, (terj. Team Tashfiyah LIPIA), (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007), hlm. 789.

[viii] Ibid, hlm. 663.

Jumat, 17 Juni 2011

dasar hukum penggeledahan


BAB SATU
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial (Zoon Politicon) artinya manusia itu senantiasa ingin berinteraksi dengan sesamanya. Dalam berinteraksi itu,  terbuka peluang untuk terjadinya perselisihan atau ketidak-teraturan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena manusia mempunyai kebutuhan yang beragam, dalam memahami kebutuhannya terkadang bersinggungan atau melanggar hak-hak orang lain, bahkan tidak sedikit yang melanggar hukum.
Bardasarkan asumsi di atas, maka pada dasarnya semua lapisan masyarakat sangat membutuhkan hukum sebagai alat pengendali sosial (Sosial Control) untuk membatasi tindakan atau tingkah laku masyarakat agar sikap dan tingkah lakunya tidak mengganggu kebutuhan dan hak-hak orang lain.  Oleh karena itu, masyarakat yang sangat primitif sekalipun tidak akan terlepas  dari sebuah sistem hukum tertentu dalam  rangka mengatur tingkah lakunya dalam bermasyarakat.[1]
Dalam rangka mengatur sikap manusia agar tidak mengganggu, merampas dan melanggar  hak-hak orang lain, maka dibuatlah aturan dalam hukum perdata dan hukum pidana agar orang-orang yang melakukan pelanggaran dan kejahatan dapat dikenai sanksi atau hukuman untuk mewujudkan ketentraman, keamanan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Salah satu aturan yang mendukung untuk terlaksananya hukum pidana adalah penggeledahan.
Penggeledahan merupakan tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan rumah maupun pemeriksaan badan atau pakaian untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawa serta, untuk disita.
Menurut ketentuan Pasal 33 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa penggeledahan adalah tindakan penyidik atau penyidik pembantu atau penyelidik untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan terhadap tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.[2] Penggeledahan dilakukan bukan hanya untuk melakukan pemeriksaan, tetapi dapat juga sekaligus untuk melakukan penangkapan dan penyitaan. Tindakan penggeledahan pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang melarang setiap orang untuk mencampuri kehidupan pribadi, keluarga dan tempat kediaman.
Dalam Pasal 32 KUHAP disebutkan: “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini”.
Dari pengertian di atas, antara penahanan dan penggeledahan terdapat perbedaan, kalau dalam tindakan penahanan masing-masing instansi penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan berwenang melakukan penahanan, maka dalam penggeledahan berbeda, tidak semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang  dalam melakukan penggeledahan. Wewenang penggeledahan semata-mata hanya diberikan kepada instansi “penyidik”. Jadi hanya ada pada tangan penyidik, baik dia penyidik Polri maupun penyidik pegawai negeri sipil. Dalam tindak pidana umum, penuntut umum tidak mempunyai wewenang untuk menggeledah. Demikian juga hakim pada semua tingkat peradilan tidak mempunyai wewenang penggeledahan. Kecuali dalam tindak pidana khusus, misalnya korupsi, supversi, dan tindak pidana ekonomi, maka wewenang penggeledahan ini diberikan kepada penuntut umum.[3]
Pengertian penggeledahan juga diatur dalam KUHAP Pasal 1 butir 17, “Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Kemudian pada Pasal 1 butir 18, “Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya dan serta untuk disita”.[4]
Adapun proses penggeledahan menurut KUHAP dapat digolongkan kepada 2 (dua) :
1.1.1.      Penggeledahan Biasa :
a.       Penggeledahan oleh penyidik berdasarkan surat izin ketua pengadilan negeri setempat menurut Pasal 33 ayat (1) dan (2).
b.       Penggeledahan harus disaksikan oleh dua orang saksi, Pasal 33 ayat (3).
c.       Penggeledahan harus di saksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan setempat jika tersangka menolak hadir dalam Pasal 33 ayat (3).
d.      Setelah memasuki rumah, dalam jangka dua hari harus dibuat berita acara yang telah termaktub dalam Pasal 33 ayat (5).
e.       Jika yang melakukan penggeledahan bukan penyidik, maka selain surat izin dari ketua pengadilan negeri setempat juga surat perintah tertulis dari penyidik, Pasal 33 ayat (2).
f.        Sebelum melakukan penggeledahan, terlebih dahulu penyidik wajib menunjukkan tanda pengenal kepada tersangka, Pasal 125.
g.       Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan kepada yang bersangkutan, Pasal 127 ayat (1) s.d. (3).
1.1.1.      Penggeledahan dalam keadaan mendesak :
a.       Penggeledahan dilakukan tanpa izin ketua pengadilan negeri setempat bilamana tempat yang akan di geledah terdapat tersangka yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau benda yang dapat disita akan dimusnahkan, Pasal 34 ayat (1).
b.      Terhadap surat, buku, dan tulisan tidak diperkenankan digeledah, kecuali berkaitan dengan tindak pidana tersebut, Pasal 34 ayat (2).
Waktu yang paling tepat untuk di lakukan penggeledahan secara yuridis tidak diatur dengan jelas dalam KUHAP. Oleh sebab itu, waktu yang paling tepat untuk dilakukan penggeledahan dapat dilakukan pada siang hari, sebab pada saat itu anak-anak tersangka sedang berada di sekolah dan tetangga pun sedang sibuk melakukan aktifitas rumah. Menurut pendapat penulis, penggeledahan yang dilakukan tengah malam otomatis akan menimbulkan kekagetan yang sangat terutama bagi anak-anak. Itu sebabnya dalam lembaran Negara (STBL, dalam bahasa Belanda disebut dengan Staatsblad). 1865 No. 84 Pasal 3, melarang melakukan penggeledahan rumah pada malam hari dengan pengecualian, jika dalam keadaan mendesak sekali, barulah dapat dilakukan penggeledahan pada malam hari.
Dalam hal ini jelas petugas-petugas negara dalam menjalankan tindakan penggeledahan tersebut sangat menyentuh hak-hak asasi, bahkan pada Pasal 167 dan Pasal 469 KUHP mengancam pidana terhadap pelanggaran tersebut, bahkan pada saat  berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 terdapat jaminan perlindungan terhadap ketentraman rumah atau tempat kediaman, sebagaimana diatur dalam Pasal 16:
(1)   Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu gugat.
(2)   Menginjak suatu perkarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya dibolehkan dalam hal ditetapkan dalam suatau aturan hukum yang berlaku baginya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, walaupun UUDS 1950 itu sudah tidak berlaku sejak 5 Juli 1959, namun ketentuan itu masih berlaku di Indonesia karena bersifat universal.[5]
Kemudian pada Pasal 12 “Universal Declaration of Human Right” dinyatakan, bahwa “tiada seorang juapun dapat diganggu sewenang-wenang dalam persoalannya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, juga tidak diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan Undang-Undang terhadap gangguan atau pelanggaran-pelanggaran demikian”.[6]
Pejabat yang berwenang untuk melakukan penggeledahan adalah penyidik, berarti pangkat petugas kepolisian tersebut sekurang-kurangnya IPDA (Inspektur Polisi Dua) atau Komandan Polsek yang berpangkat Bintara di bawah Ipda. Apabila penggeledahan dilakukan oleh bukan selain penyidik, maka petugas penggeledahan tersebut harus menunjukkan surat perintah tertulis dari penyidik dan surat izin ketua pengadilan negeri setempat, tetapi apabila penggeledahan tersebut dilakukan dalam keadaan yang luar biasa atau mendadak dengan kejadian kriminal, maka petugas yang melakukan penggeledahan tersebut tidak perlu menunjukkan surat perintah penggeledahan.
Namun demikian setelah dilakukan penggeledahan penyidik wajib meminta persetujuan dari ketua pengadilan setempat. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu pengawasan atas tindakan penyidik dalam penggeledahan mengingat tindakan penggeledahan itu merupakan tindakan yang menyentuh hak-hak asasi manusia. Kadang dalam melakukan penggeledahan tersangka atau terdakwa dalam suatu perkara pidana (kejahatan atau pelanggaran) dalam tataran praktek kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan rujukan dalam acara pidana (hukum acara pidana). Paling tidak itu sudah terjadi pada beberapa kasus, seperti kasus penggeledahan yang sangat perlu dan mendesak, yang pada aturannya ketika dilakukan penggeledahan minimal harus ada orang saksi dan kepala kelurahan setempat, akan tetapi yang terjadi pada saat penggeledahan sangatlah jauh dari aturan, sering dua orang saksi itu tidak dihadirkan ketika penggeledahan berlangsung, bahkan banyak penggeledahan yang dilakukan dengan ketidaklengkapan administrasi.
Pada dasarnya, semua tindakan penyidik melakukan penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5), penyidik dapat melakukan penggeledahan: (a) Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya; (b) Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada ; (c) Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; (d) Di tempat penginapan dan tempat umum lainnnya. Pasal 33 ayat (5)  KUHAP di sebutkan bahwa: “Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan”.
Menurut penulis, penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik tidak sesuai dengan KUHAP, karena realita yang terjadi setelah jangka waktu dua hari dilakukan penggeledahan yang sangat perlu dan mendesak, tidak disampaikannya berita acara kepada penghuni rumah atau pemilik rumah yang bersangkutan, bahkan ada berita acara yang berbulan-bulan tidak diselesaikan. Dengan demikian penyidik sudah melanggar hak-hak tersangka dalam melakukan pengeledahan.
Perlindungan terhadap ketentraman rumah atau tempat kediaman orang merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Dengan sendirinya pelanggaran terhadap asas tersebut merupakan hal yang serius. Dalam KUHP Pasal 167 di tentukan ancaman pidana pelanggaran tersebut yang berbunyi sebagai berikut. “Barangsiapa dengan melawan hukum masuk dengan paksa ke dalam, atau dengan melawan hukum ada tinggal di dalam rumah atau tempat yang tertutup yang dipakai oleh orang lain, dan tidak dengan segera pergi dari tempat itu, atas permintaan atas nama yang berhak dipidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyaknya tiga ratus rupiah”.[7]
Dari uraian  di atas  jelas petugas negara dalam menjalankan tugas tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, bahkan tidak banyak dari kalangan masyarakat yang awam tentang hukum di perlakukan tidak sesuai degan teori dan pratek yang di tetapkan dalam undang-undang. Pada dasarnya setiap masalah yang timbul dalam masyarakat, kejahatan dan pelanggaran yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, agar diteliti dengan benar, karena apabila tidak diteliti dengan benar maka akan menimbulkan suatu musibah bagi orang lain. Jika seseorang melakukan kejahatan walaupun belum terbukti, maka bagi orang tersebut dapat dikenakan sanksi hukuman penahanan sementara untuk pemeriksaan, kemudian untuk memperjelas kesalahan dan ketidaksalahan seseorang yaitu dengan penggeledahan. Karena penggeledahan tidak selalu bertujuan untuk mencari kesalahan seseorang, tetapi kadang-kadang bertujuan untuk mencari ketidaksalahannya.
Ketentuan pelaksanaan penggeledahan ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh al-Khamsah kecuali Ibnu Majah
عن بحذ بن الحكم عن أبيه عن أبيه، ان النبي صلّى الله عليه و سلّم حبس ر جلا في التهمة، ثم خلي عنه. (رواه الخمسة الاابن ماجة)
Artinya: Diriwayatkan dari Bahaz bin Hakim dari bapaknya, dari kekeknya, bahwa Rasulullah pernah memenjarakan seorang laki-laki karena  suatu tuduhan, kemudian beliau membebaskannya. (HR. al-Khamsah kecuali Ibnu Majah).[8]
Dalam hadits di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah melakukan penahanan pada jarimah ta’zir, yaitu untuk pemeriksaan sampai nyata kesalahannya. Beliau menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta, dan menyuruh seorang sahabat untuk menggeledah untanya. Setelah ternyata bahwa ia tidak mencuri, maka Rasulullah melepaskannya. Alasan mereka bahwa penahanan adalah hukuman ta’zir, sedangkan pada pencuri baru dikenakan hukuman apabila telah terbukti.[9]
Tindakan yang diambil Rasulullah dapat dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab membiarkan si tertuduh hidup bebas sebelum dilakukan penyidikan tentang kebenaran tuduhan terhadap dirinya, atau mengakibatkan ia lari dan mungkin juga ditetapkan keputusan yang tidak benar terhadap dirinya, atau mengakibatkan tidak dapat dijalankan hukuman yang telah diputuskan.

1.1.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang merupakan sentral pembahasan dalam penulisan ini, yaitu;
1.2.1.      Bagaimana proses penggeledahan yang diatur dalam hukum Islam dan KUHAP?
1.2.2.      Bagaimana kewajiban penyidik dalam melakukan penggeledahan menurut KUHAP?

1.3.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan;
1.3.1.      Untuk mengetahui proses penggeledahan yang diatur dalam hukum Islam.
1.3.2.      Untuk mengetahui kewajiban penyidik dalam melekukan penggeledahan menurut KUHAP.

1.4.      Penjelasan Istilah
 Untuk menghindari kekeliruan dan kesalahpahaman dalam memahami istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi ini, maka perlu dijelaskan pengertian istilah sebagai berikut.
1.4.1.      Hukum Pidana Islam
1.4.1.1.      Hukum.
Menurut bahasa adalah:
إثبا ت شىً على شىً
Artinya: Menetapkan sesuatu atas sesuatu.[10]
Menurut syara’ adalah:
خطاب الله تعالى المتعلق باًفعال المكلفين إقتضاء اًوتخييرا أو وضع
Artinya: Perintah Allah yang berhubungan dengan perbuatan Mukallaf dalam bentuk tuntutan (perintah), pilihan atau penetapan.[11]
1.4.1.2.      Pidana.
Pidana (jinayah) adalah semua perbuatan yang diharamkan oleh syara’ (Hukum Islam). Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah dalam kitabnya Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami menjelaskan  bahwa:
الجنا ية لغة اسم لما يجنيه المرء من شرما اكتسبه.واصطلاحا اسم لفعل محرم شرعا سواء وقع الفعل على نفس او مال اوغير ذالك
Artinya: Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkam syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda.[12]
1.4.1.3.      Islam.
Menurut Mahmud Syaltut, Islam adalah
الاٍسلام هو دين الله الذى أوصى بتعاليمه فى أصو له وشرائعه اٍلى النبى صلى الله عليه وسلم وكلفه بتبليغه للنا س كافة ودعوتهم اٍليه
Artinya: Islam adalah agama yang pokok-pokok ajarannya dan syari’atnya disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan dibebankan untuk menyampaikan kepada manusia dan mengajak mereka untuk menganutnya.[13]
Hukum Pidana Islam adalah segenap aturan-aturan yang ditetapkan oleh syara` untuk melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak kejahatan dan pelanggaran, sehingga tercipta situasi aman dan tertib.[14] Namum yang dimaksud dengan hukum pidana Islam dalam tulisan ini adalah setiap aturan hukum pidana yang berasal dari hasil ijtihad para imam-imam mazhab (termasuk para pengikutnya). Mazhab-mazhab yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mazhab yang telah diakui keabsahannya atau lebih dikenal dengan mazahibul arba`, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab syafi`i dan mazhab Hambali.
1.4.2.      Penggeledahan.
Penggeledahan dalam Kamus Bahasa Indonesia ialah memeriksa untuk mencari sesuatu (seperti barang gelap, barang curian, surat-surat bukti).[15] Dalam Kamus Hukum, penggeledahan badan yaitu tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawa serta, untuk disita. Sedangkan penggeledahan rumah yaitu tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk dilakukan tindakan pemeriksaan atau penyitaan dan untuk penangkapan dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang ini.[16] Maka penggeledahan yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah tindakan penyidik untuk malakukan pemeriksaan rumah maupun pemeriksaan pakaian dan penyitaan barang yang berkaitan dengan barang bukti untuk disita.
1.4.3.      Tersangka.
Tersangka dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah diduga, dicurigai, tertuduh, terdakwa (ia dihadapkan ke pengadilan sebagai pelaku tindak pidana).[17] Dalam Kamus Hukum, Tersangka ialah orang yang dituduh, didakwa, disangka melakukan kejahatan dan belum mendapatkan keputusan hakim.[18] Maka tersangka yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah orang yang dituduh melakukan tindak pidana yang belum di vonis oleh hakim maupun pengadilan.
1.4.4.      KUHAP.
KUHAP adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Dengan demikian, Pelaku tindak pidana merupakan suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang maupun lebih yang ancaman hukumannya telah ditetapkan oleh undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah hukum perundang-undangan guna mewujudkan hukum pidana materil, dalam KUHAP ada beberapa pasal yang menjelaskan atau mengatur tentang penggeledahan yang merupakan salah satu proses pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa. Sedangkan Hukum Islam merupakan peraturan Allah SWT yang lengkap, guna mewujudkan kebahagiaan ummat manusia di dunia dan akhirat. Dalam Hukum Islam telah diatur kejahatan dalam bab Hudud, Qishas-Diat dan Ta’zir serta hukuman-hukumannya.

1.5.      Kajian Pustaka
Pada dasarnya, semua tindakan penyidik dalam melakukan penggeledahan adalah untuk menemukan dan mengumpulkan alat atau barang bukti sekaligus menemukan atau menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Dalam Pasal 32 KUHAP disebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan, maka penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Dengan demikian wewenang penggeledahan dalam KUHAP dipegang penuh oleh penyidik dan penyelidik, sedangkan Hakin dan Penuntut Umum tidak memiliki wewenang dalam penggeledahan.
Sama dengan KUHAP, dalam Hukum Pidana Islam juga terdapat penggeledahan untuk melakukan pemeriksaan dan mencari barang bukti. Dengan demikian wewenang penggeledahan di pegang penuh oleh Wali Al-Mazalim dan di perintahkan kepada Wilayatul Hisbah dan Rijal Al-Syurtah (polisi).
Dalam hal ini, beberapa buku menyinggung tentang proses penggeledahan, baik  yang diatur dalam Hukum Pidana Islam maupun yang diatur dalam KUHAP, sebagai berikut;
Hukum Acara Pidana Kontemporer, oleh Rusli Muhammad. Beliau banyak memberikan penjelasan tentang proses-proeses penggeledahan yang diatur dalam KUHAP.
KUHP dan KUHAP, oleh Andi Hamzah. Buku ini merupakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang disertai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Al-Fiqih Al-Islam Wa Adillatuhu, oleh Wahbah Az-Zuhaili. Kitab ini merupakan kitab khusus yang membahas tentang Hukum Pidana Islam.
Membumikan Hukum Pidana Islam, oleh Topo Santoso. Buku ini juaga secara khusus menelaskan tentang Hukum Pidana Islam. Salah satu topik pembahasan dalam buku ini juga membahas tentang penggeledahan dalam Hukum Pidana Islam.

1.6.      Metodalogi penelitian
Dalam penelitian ini, sejauh pengetahuan penulis belum ada yang mengkaji tentang tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pelaksanaan penggeledahan tersangka menurut KUHAP, dengan demikian dapat dilakukan langkah-langkah penelitian sebagai berikut:
1.6.1.      Bentuk atau jenis penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu, dalam pengumpulan data, penulis membaca dan menelaah kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan topik permasalahan yang akan dibahas. Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
1.6.2.      Penentuan sumber data
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Oleh karena itu, data yang diperoleh melalui kepustakaan tersebut dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu:


1.6.2.1.      Data primer
Adapun yang menjadi data primer dalam penulisan ini adalah kitab Al-Fikih Al-Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah Az-Zuhaili dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1.6.2.2.      Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini merupakan data pendukung. Data pendukung ini akan diperoleh melalui literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan ditulis. Misalnya kitab Al-Umm karangan imam Syafi`i, kitab Fiqh As-Sunnah karangan Sayyid Sabiq, buku Hukum Acara Pidana karangan Andi Hamzah dan tulisan orang yang sesuai dengan pembahasan judul pembahasan  ini, seperti Disertasi, Tesis, Skripsi dan tulisan jurnal lainnya.
1.6.3.      Pedoman penulisan
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku Panduan Penulisan Skripsi dan Laporan Akhir Studi Mahasiswa yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh tahun 2010.

1.7.      Sistematika pembahasan
Pembahasan skripsi ini di bagi kepada beberapa Bab, yaitu : Bab satu pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Dalam Bab dua berisi tentang pelaksanaan penggeladahan tersangka menurut KUHAP, yang mencakup tentang pengertian dan dasar hukum penggeledahan, prosedur penggeledahan menurut KUHAP dan Hukum Pidana Islam, dan jenis-jenis penggeledahan tersangka.
Selanjutnya dalam Bab tiga di bahas mengenai tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap proses pelaksanaan penggeledahan tersangka menurut KUHAP, yang mencakup tentang syarat-syarat penggeledahan menurut KUHAP, kewajiban penyidik dalam melakukan penggeledahan menurut KUHAP, dan tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap penggeledahan dalam KUHAP.
Akhirnya dalam bab empat yaitu bab penutup yang merangkum semua kesimpulan dari pada bab-bab yang telah dibahas, saran-saran, daftar pustaka dan daftar riwayat hidup.



[1] M. Yasir Nasution, Hukum Islam dan Signifikannya dalam Kehidupan Masyarakat Modern,  Medan  (Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN-USU, Tanggal 7 Januari 1995 di Medan), hlm. 2.

[2]  Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 247.

[3] Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana, Dalam Teori dan Praktik, Cet I, (Jakarta:PT. Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 49.


[4] Andi Hamzah, KUHP dan  KUHAP, hlm. 229.

[5] Andi Hamzah,  Hukum Acara Pidana Indinesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 138.

[6] Ibid. hlm., 139.

[7] Ibid., hlm. 137.

[8] Abdullah bin Abdul Muhsin, Suap Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 64.

[9]‘Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islami, jilid. 2, (Bairut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t), hlm. 150.

[10] Kamal mukhtar, Azas-Azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 180.

[11] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Padang: Nusantara, 1960), hlm. 10.

[12] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Namdung: Cv. Pustaka Setia, 2000), hlm. 12.

[13] Mahmud Syaltout, Islam ‘Aqidah wa syariah, (Mesir: Darul Qalam, 1966),  hlm. 9.

[14] Azyumardi Azra, Eksiklopedi Islam, Jilid IV, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hlm. 163.

[15] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 359.

[16] Sudarsono, Kamus Hukum, Edisi Baru, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005),  hlm. 350.

[17] Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Bahasa Indonesiaa Kontenporer, Edisi Kedua, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995) , hlm. 1328.

[18]Sudarsono, Kamus Hukum, hlm. 460.